Karena awak takut dituduh berada dalam lingkaran “fanatisme kedaerahan yang sempit”, tak mungkinlah kiranya awak berbangga-bangga diri terhadap apa yang telah dicapai oleh warga nagari awak , Nagari dimana awak dilahirkan. Namun sebagai sebuah kebanggaan, bagaimana pula awak dapat melulurnya sendiri, atau menyimpannya di lemari es, karena kebanggaan itulah yang masih tidak tergugat sebagai milik pribadi. Dan pada saat-saat tertentu, seperti sekarang ini misalnya, “terlepas” lah sumbat simpanan itu, dan tentu saja meluncur pulalah “kebanggaan” awak yang sekarang telah tertuang di situs seperti ini.
Betapa tidak.
Cobalah misalnya; Penghulu di Nagari awak yang pada mulanya dianggap rendah gengsinya, karena pendidikan kurang dan tinggal di kampung, kerja ke sawah dan ke ladang semata, kini para penghulu awak telah menamatkan berbagai jenjang pendidikan dan telah mencapai tingkat hidup yang lebih daripada lumayan.
Para penghulu kini telah bergengsi tinggi baik karena kekayaannya, terhormat karena pangkatnya atau ketinggian dan keluasan ilmu dan gelarnya. Tinggal di rumah-rumah gadang yang mewah dan modern di kota-kota besar seantero dunia.
Dan setiap kemenakan di kampung, bila ditanyakan dimana kini penghulunya, dengan bangga mereka menceritakan bahwa Penghulu mereka sudah lama menetap di Paris, London, New York dan Tokyo.
Bila dibandingkan dengan pemangku-pemangku adat atau kepala suku lainnya di seluruh dunia, maka penghulu awaklah yang mampu “berlanglang buana”, baik karena kepandaiannya atau karena pangkatnya atau atas biayanya sendiri, tanpa ,menggantungkan lagi pada hasil tanah pusaka kaumnya.
Apa yang menjadi ketentuan adat; “Adat Salingka Nagari, Panghulu Salingka Kaum”, bagi orang kaumpung awak sudah bertambah luas artinya. Tidah hanya pengertian harfiahnya saja yang difahami, tetapi lebih dari itu, lebih dalam lagi, lebih esensial.
Tanpa penghulu-penghulu awak berada di kampung, namun semua urusan anak kemenakan tetap beres. Semua persoalan telah dicernakan oleh komputer, komunikasi dilakukan dengan telex, telepon atau HP. Tatap muka dengan jarak jauh dilakukan dengan TV atas jasa satelit komunikasi. Keamanan Nagari dilakukan dengan pesawat pengintai dan dimonitor dari kota-kota utama dunia oleh para Penghulu- Penghulu Awak.
Benar-benarlah “Alam Takambang Jadi Guru” adalah ajaran adat yang jitu dan tunta, ajaran yang menganjurkan memakai segala cara dan upaya dalam menghadapi kehidupan yang telah diatur oleh Adat Nan Kawi; Nan Indak Lakang Dek Paneh, Nan Indak Lapuak Dek Hujan.
Oleh karena keadaan yang demikian, maka tidaklah aneh lagi anak-anak di bawah umur di kampung awak, memain-mainkan komputer, menukar-nukar arah antene TV untuk mencari datuk-datuknya yang mungkin bepergian jauh dari rumahnya. Begitu juga soal bahasa. Oleh karena adat awak mengajarkan “Nan Pusako Adolah Kato” maka awak tak sulit berbahasa apapun. Mulai dari bahasa Inggris sampai bahasa China. Dari bahsa yang tidak ada makna sampai bahasa yang kabur artinya. Dari bahasa orang bisu sampai bahasa orang tuli. Semua bahasa itu bermula dari “kato”, pusako awak bana.
Amatlah berbahagianya awak beserta anak kemenakan lainnya di kampung, karena menjelang puasa semua penghulu kami pulang untuk mengadakan pertemuan. Belum pernah hal itu terjadi semenjak awak dilahirkan. Kono, para penghulu awak itu pulang basamo karena satu niat; untuk bertatap muka secara langsung sesama Penghulu di Nagari sendiri. Karena sudah bosan barangkali dengan pertemuan-pertemuan yang dialkukan ;di meja-meja komperensi atau hotel-hotel mewah dengan bahasa asing.
Para Penghulu awak ingin bersidang dengan bahasa asli, bahsa ibu, kato usali, untuk merangsang kamanakan menjadi lebih mencintai Nagarinya, sekaligus melestarikan adat nan kawi itu.
Maka ramailah kampung awak masa itu. Para Penghulu pulang bersama “mintuo-mintuo” atau “amai-amai” awak dan “anak mamak” awak. Anak mamak awak itu di luar biasa ragam “roman”nya; ada seperti orang Perancis, Portugis, Jerman dan Belanda. Ada pula seperti orang Afrika, India, Parsi, Cina dan Bar Bar. Boleh dikatakan, jika diadakan pertemuan sesama anak mamak saja, sudah menjadi pertemuan bangsa-bangsa sedunia. Dan Bapak mereka adalah satu; Penghulu awak! Lelaki perkasa dari Nagari awak benar, ya itu Nagari; Minangkabauang!
Para penghulu awak itu sangat menghargai urang sumandonya. Agar sumando itu tidak terganggu tidurnya, maka para penghulu awak tidak menginap di rumah gadang, tetapi tidur di hotel-hotel di berbagai kota yang ada di sekitar kampung awak.
Dan pertemuan yang bersejarah itupun diadakan di Medan Nan Bapaneh, di kaki Gunung Merapi. Sebuah lapangan yang penuh ilalang diselingi batu-batu besar yang berserakan yang sudah dibersih datarkan oleh traktor, memakai tenda pelindung panas berwarna warni, serta korsi-korsi empuk lainnya. Tentu saja semua anak kemenakan “lingkuik” berbondong-bondong datang menyaksikan di luar garis pengamanan.
Acara itu dimulai dengan memeperkenalkan semua penghulu, dengan alasan dan pertimbangan; “Kok ado kamanakan nan lupo jo mamaknyo”. Maklumlah, karena sudah begitu lama mamak di rantau.
Mula-mula diperkenalkanlah Datuk Bana Tan Tapo. Rupanya penghulu awak ini sudah menjelajahi berbagai kawasan adat di belahan benua Amerika. Menurut pembawa acara, yang menguraikan sejarah hidupnya, Penghulu awak ini telah mendapat penghormatan tertinggi dari Kepala Suku dan Pucuak Bulek nya suku Apache, Indian di lereng Gunung Rocky Mountain, Amerika. Gelar kehormatan yang diterima dan dipakai Penghulu awak ini adalah Old Shuterhand Plus(OSP), lengkap dengan tanda penghargaannya. Betapa gagahnya Datuk Bana Tan Tapo berdiri dengan pakaian penghulu yang asli dan penghargaan yang diterimanya; saluak di kepala dan sebelah kiri tersisip sehelai bulu burung melambai-lambai dan di lehernya tergantung pipa perdamaian Bangsa Apache.
Setelah tepuk tangan gemuruh mengiringi Penghulu awak ini turun panggung, maka pembawa acara memeperkenalkan Datuk Gadang Angkatan. Beliau dengan pakaian penghulu yang asli diselingi pula oleh medali yang tergantung di lehernya, bunga Sakura Emas dan Pedang Samuraitergantung di samping keris berhulu tanduk. Menurut pembawa acara, Penghulu awak ini telah mendapat gelar dan penghormatan tertinggi dari Kaisar Hirohito dan keluarga Samurai yang terhormat di Tokyo dan Osaka, Jepang.
Lain lagi halnya Datuk Paimbang Dunia. Datuk awak ini telah mendapat penghargaan dan gelar dari rakyat Afrika (mungkin sewaktu Idi Amin masih di Uganda). Gelarnya Hum Pam Pa, dipendekkan jadi HPP. Dikukuhkan dengan gading gajah Afrika yang terkenal. Gading gajah itu dipertongkat saja oleh Datuk awak ini, lebih tinggi gading itu dari badannya. Sedangkan tongkat penghulu yang asli diselipkan di ketiak, sekilas tampak seperti Panglima Perang semasa Cleopatra di Mesir sedang tercengang memandang senjata rampasan dari serdadu Amerika abad sekarang.
Sebuah insiden kecil terjadi sewaktu Datuk Tabangan Nan Sabatangakan memasuki medan nan bapaneh itu karena terlambat datang. Beberapa anak kemenakan yang tidak mengenal datuk ini, mengusirnya jauh-jauh, dianggap orang gila yang akan mengacaukan pertemuan. Tapi sewaktu pembawa acara memperkenalkan bahwa penghulu awak ini adalah satu satunya penghulu yang berkeliling dunia dengan menjual obat demam, barulah kami kagum dan menyesal mengusirnya tadi. Kami kagum karena banyak penghormatan yang telah diterimanya dari berbagai tempat dan bermacam orang penting.
Lihatlah betapa anggunnya; kepalanya botak licin, karena begitulah cara penghormatan yang diterimanya dari keluarga Budha yang terhormat di Birma. Di pinggir bibirnya menjulai jenggot yang panjang, sebagai penghormatan yang diterimanya dari keturunan Jengis Khan. Memakai celana kulit berumbai, sebagai penghormatan sejar4ah dari keturunan Barbar.
Selalu tersenyum sendiri karena telah menerima secara langsung “harta karun” nya Don Kissot sewaktu dia singgah di Spanyol pinggiran. Beliaupun menyandang sepotong kayu meranti, yang menurut pembawa acara, adalah pendayung perahu Kano (yang asli, pendayung Kano Emas telah terjual di Shanghai karena kehabisan uang dicopet orang). Di belakang namanya berderet berbagai kependekan gelar kehormatan, seperti; GL, SSS, SSX,/RWirqJ f.
Yang paling mengagumkan kami adalah sewaktu Datuk Takasiak Bulan diperkenalkan. Karena dialah satu satunya Penghulu awak yang telah mendarat di bulan dalam rombongan yang ketiga belas setelah Neil Amstrong. Sebagai penghormatan tertinggi, beliau ini telah mendapat berbagai medali. Dan medali yang digantungkan di leher melebihi medali juara Olympiade. Itupun masih belum seberapa, tapi sewaktu dia menggantungkan “kenang-kenangan” dari Bulan berupa sebuah batu sebesar kepala yang telah diberi tampuk, gemuruhlah medan nan bapaneh itu dengan sorak sorai kami. Bahkan ada yang berteriak-teriak histeris; “buyuik jo nan labiah gadang Tuak”.
Dari sekian Penghulu yang hadir, kamipun akhirnya mudah menandai pengalaman masing-masing beliau. Misalnya, Datuk yang di sana karena memakai kaos kaki pemain bola kaki pasti beliau itu telah mendapat penghargaan tertinggi dari Presiden Brazilia atau setidak tidaknya dari Maradonna.
Dan datuk yang sebelah sana lagi, karena memakai sandal bulu, pastilah beliau sudah mendapat kehormatan tertinggi dari suku Maori atau pernah ke Alaska.
Menjelang maghrib pertemuan itu berakhir, ditandai hasil keputusan yang dibacakan kembali oleh pembawa acara. Salah satu hasilnya yang terpenting adalah; Panghulu Nan Ampek Rangkiang.
“Dan siapakah Panghulu Nan Ampek Rangkiang itu?”, Tanya pembawa acara. Pertanyaan itu langsung dijawabnya sendiri.
Pokoknya, uraian yang panjang lebar itu dapat dipersingkat seperti di bawah ini;
Para Penghulu ditentukan “rangkiang”nya berdasarkan penghormatan dan tanda tanda yang telah diterimanya dari berbagai kawsan adat atau dunia, baik diberikan oleh Raja, Kaisar, Ratu maupun Presiden atau lembaga lembaga yang sah. Penghulu yang masuk “rangkiang” dapat dinaikkan lagi rangkiangnya bila yang bersangkutan dapat menambah lagi tanda tanda penghormatan di kemudian hari.
Penghulu yang masuk “rangkiang” pertama adalah Penghulu yang telah “membulan”, artinya telah melakukan perjalanan ke angkasa luar, setidak tidaknya pernah mendarat di Bulan. Penghulu di rangkiang ini disebut Penghulu Antariksa.
Penghulu yang masuk “rangkiang” kedua adalah yang telah “mendunia”, artinya Penghulu yang twlah mendapat gelar dan penghargaan tertinggi dari sepuluh Kepala Suku di berbagai Benua. Penghulu yang masuk “rangkiang” kedua ini disebuat Penghulu Balistik.
Rangkiang ketiga adalah Penghulu yang telah mendapatkan tanda penghormatan dari berbagai Kepala Suku atau Raja di kawasan Asean, disebut Penghulu Ulang Alik, karena dia masih mudah untuk pulang balik ke kampung.
Rangkiang keempat adalah Penghulu yang belum pernah ke luar negeri. Penghulu rangkiang ini disebut Penghulu Dalam Timpuruang.
Itulah yang dimaksud dengan Panghulu Nan Ampek Rangkiang. Dan coba, siapa yang takkan bangga! Orientasi Penghulu awak kini tidak hanya pada “Gunuang Marapi Sagadang Talua Itiak”lagi, tapi sudah berorientasi pada peradaban jagat raya. Bahakan istilah angkasa luar pun sudah dimasukkan ke dalam ukuran secara adat. Bahkan itu berarti “Alam Takambang Jadi Guru” telah diperluas dan diperlengkapi maknanya?
Tapi sebagaimana awak tandaskan di awal karangan ini, bahwa awak takut dituduh berada dalam lingkaran fanatisme kedaerahan yang sempit, itulah sebabnya kebanggaan awak ini disimpan simpan saja, namun akhirnya diceritakan juga. Sebagaimana pembaca maklumi, bahwa apa yang menjadi kebanggaan awak, selalu menjadi cemooh bagi peminum kopi yang duduk di palanta lapau, tentulah awakpun jadi bahan cemoohannya pula, karena awak telah menceritakannya tanpa dikurang tambahi sedikit jugapun. Tapi apa boleh buat. Cemooh mencemooh sudah biasa bagi kami di kampong yang senang di palanta lapau. Entahlah kalau ada yang marah. Tentu mereka tidak pernah minum kopi di palanta lapau.
(Disunting dari TULISAN Wisran Hadi pada Majalah Adat Dan Kebudayaan Minangkabau LIMBAGO No.4 Tahun II, 1987)